Sisi Manusiawi yang Terlupakan dari Narasi Sejarah Kolonial

 

ImpasNews, Makassar-

Sejarah adalah bagian dari kehidupan manusia, yang mengingatnya secara utuh akan membuat Kita lebih bijak menyikapi dan menjalani kehidupan. 

Proklamator Kita, Bung Karno telah mengingatkan, "jangan melupakan sejarah, " karena setiap kejadian bukanlah terjadi kebetulan. Semua memang ada sisi baik dan buruknya, tapi yang pasti, ada  hikmah dari setiap goresan sejarah kehidupan manusia.

Hal ini, yang membuat Pemerhati Sejarah Indonesia- Belanda, Riswan Abu Sultan terus menggetarkan intuisi keilmuannya untuk  mengungkap sisi kemanusiaan yang menarik dan menjadi warna kehidupan, yang terlalu sayang untuk diabaikan.

Menurut Riswan, di tengah derasnya arus konten populer dan narasi sejarah yang cenderung hitam-putih,  Ia memilih jalannya sendiri: menjadi penutur kisah manusia di balik bayang-bayang kolonialisme,  dan  menyebut dirinya historical storyteller, penulis yang tidak sekadar menelusuri arsip dan catatan kolonial, tetapi berupaya menghidupkan kembali emosi, dilema, dan sisi kemanusiaan yang terkubur dalam guratan  waktu dan peristiwa.

“Sejarah kolonial sering kali hanya diceritakan dalam pola yang kaku: Belanda datang, Belanda menjajah, rakyat melawan, lalu merdeka,” ujarnya suatu sore. “Padahal, di balik itu ada lapisan kisah yang lebih halus,  kisah cinta, penghianatan, keberanian, bahkan pencarian jati diri bangsa yang sesungguhnya.”

Rasa ingin tahu itu tumbuh sejak masa kecilnya. Riswan kerap mendengar cerita samar dari kakek-neneknya tentang masa kolonial, tetapi Ia merasa ada bagian yang tak pernah selesai diceritakan. “Saya penasaran, mengapa kisah cinta dan penderitaan manusia di masa itu jarang diangkat dari sisi batin mereka?” katanya. Pertanyaan itulah yang kelak menuntunnya menulis, meneliti, dan akhirnya menemukan bentuk ekspresinya sebagai storyteller sejarah.

Melalui karya-karyanya, Riswan berusaha menghidupkan kembali ruang-ruang sunyi sejarah. Dalam bukunya, Vlaardingen: Menguak Sebuah Kota yang Hilang di Makassar, Ia menyingkap kisah misterius tentang sebuah kawasan yang dahulu disebut “Mutiaranya Makassar, namun lenyap dari peta karena kepentingan perang kolonial. Buku itu bukan sekadar catatan sejarah, melainkan upaya membangkitkan kesadaran baru: bahwa hilangnya sebuah kota berarti hilangnya sebagian ingatan kolektif bangsa.

Karyanya yang lain, Novel Weltevreden: Cinta, Glamor, dan Api Perjuangan, membawa pembaca ke jantung Batavia Colonial, dunia para elite Belanda dan pribumi terpelajar yang hidup di antara kemewahan dan keresahan. Di sana, Riswan merajut kisah cinta lintas ras dan perlawanan batin melawan sistem yang menindas, dengan gaya penulisan yang sinematik dan menyentuh.

Melalui setiap narasinya, Riswan tidak bermaksud membangkitkan dendam pada masa lalu. Ia justru ingin menghadirkan pemahaman yang lebih lembut dan manusiawi. “Menulis sejarah kolonial bukan tentang mengulang luka,” ujarnya, “tetapi tentang menyembuhkannya , dengan memahami manusia di dalamnya.”

Bagi Riswan, masa lalu tidak seharusnya dikurung dalam ruang nostalgia atau kemarahan. Ia adalah cermin, tempat bangsa ini belajar memahami dirinya sendiri. “Kita sering menatap sejarah sebagai beban,” katanya. “Padahal, jika kita berani menyelaminya dengan empati, di sana justru ada Cahaya, bukan hanya bayangan.”

Kini, Riswan menjadi bagian dari generasi baru penutur sejarah Indonesia yang berusaha menjembatani riset akademik dengan pendekatan sastra dan publik. Ia ingin agar kisah-kisah kolonial yang selama ini tersembunyi bisa hadir di ruang publik: di buku, layar kaca, bahkan layar lebar.

 “Saya ingin orang muda melihat sejarah bukan sebagai pelajaran yang membosankan, tapi sebagai kisah manusia, tentang cinta, pilihan, dan harga diri,” ujarnya.

Dengan karya dan visinya, Riswan Abu Sultan menegaskan bahwa masa lalu belum selesai berbicara. Ia masih bergetar di nadi bangsa, menunggu diceritakan Kembali, dengan hati yang lebih tenang, dan mata yang lebih terbuka. (* Red )

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghawatirkan Alih Fungsi Lahan Jadi Bangunan Komersial, Makin tak Terkendali di Malino

Pendaftar di SMPN 1 Palangga Membludak

DPD Partai Masyumi Kota Makassar Bentuk Kepengurusan